Jumat, 12 Februari 2010

[INDONESIA-DOCS] RUU RI ttg Perjanjian Internasional

From: John MacDougall (apakabar@igc.org)
Date: Mon Sep 04 2000 - 20:56:32 EDT


Dari situs Deplu - John

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR.... TAHUN ....

TENTANG

PERJANJIAN INTERNASIONAL

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka mencapai
tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Pemerintah negara Republik
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan hubungan
dan kerjasama internasional yang diwujudkan salam perjanjian internasional;

b. bahwa ketentuan mengenai
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih
lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;

c. bahwa Surat Presiden Republik
Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian
dengan Negara Lain" yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat
dan mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan
semangat reformasi;

d. bahwa pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
pemerintah
negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional
lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara
pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan
suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang
jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan
yang jelas pula;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang
tentang Perjanjian Internasional;

 

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal
11, dan Pasal 20 Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahannya (1999);

2. Undang-undang Nomor 37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);

 

 

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

ANTARA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN
INTERNASIONAL

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Perjanjian Internasional
adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik.

2. Pengesahan adalah perbuatan
hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam
bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan
(acceptance) dan penyetujuan (approval).

3. Surat Kuasa (Full Powers)
adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan
kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan
persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau
menyelesaikan
hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.

4. Surat Kepercayaan (Credentials)
adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan
kuasa pada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia
untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan
internasional.

5. Pensyaratan (Reservation)
adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya
suatu ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional, dalam rumusan
atau nama apapun, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui
atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.

6. Pernyataan (Declaration)
adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran
mengenai suatu ketentuan dalam suatu perjanjian internasional, yang dibuat
ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian
internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan
tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara
dalam perjanjian internasional.

7. Organisasi Internasionaladalah
organisasi antarpemerintah yang diakui sebagai subyek hukum internasional
dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional;

8. Suksesi Negara adalah
peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara kepada negara lain, sebagai
akibat dari pergantian negara, untuk melanjutkan tanggung jawab pelaksanaan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan kewajiban sebagai pihak suatu perjanjian
internasional, sesuai dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

9. Menteri adalah Menteri
yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar
negeri;

 

Pasal 2 (PENDING)
Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, [dengan berkonsultasi dengan] Dewan Perwakilan Rakyat
dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.

 

 

BAB II

PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 3
Pemerintah Republik Indonesia mengkaitkan diri pada
perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut:

a. penandatanganan;

b. pengesahan;

c. pertukaran dokumen perjanjian/nota
diplomatik;

d. cara-cara lain sebagaimana
disepakati para pihak dalam perjanjian internasional
 

Pasal 4
(1) Pemerintah Republik Indonesia
membuat perjanjian internasional dengan satu atau lebih negara, organisasi
internasional atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan
itikad baik.

(2) Dalam pembuatan perjanjian
internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan
nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan,

dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang
berlaku.

 

Pasal 5
(1) Lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan
daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri.

(2) Pemerintah Republik
Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional terlebih
dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan
dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.

(3) Pedoman delegasi
Republik Indonesia perlu mendapat persetujuan Menteri dengan memuat hal-hal
sebagai berikut:

a. latar belakang permasalahan;

b. analisis permasalahan
ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek-aspek lain yang
dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
c. posisi Indonesia, saran
dan penyesuaian yang dapat dilakukan guna mencapai kesepakatan.

(4) Perundingan rancangan
suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia
yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lainnya sesuai dengan materi
perjanjian
dan lingkup kewenangan masing-masing.

 

Pasal 6
(1) Pembuatan perjanjian
internasional dilakukan melalui tahap penjajagan, perundingan, perumusan
naskah, penerimaan, dan penandatangan.

(2) Penandatanganan
suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian
internasional yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk
mengikatkan diri secara definitif sesuai kesepakatan para pihak.

 

Pasal 7
(1) Seseorang yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan menerima atau
menandatangani
naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional
memerlukan Surat Kuasa.

(2) Pejabat yang tidak
memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 adalah:

a. Presiden, dan

b. Menteri.

(3) Satu atau beberapa orang
yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan
internasional, memerlukan Surat Kepercayaan.

(4) Surat Kuasa dapat diberikan
secara terpisah atau disatukan dengan Surat Kepercayaan, sepanjang
dimungkinkan,
menurut ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau pertemuan
internasional.

(5) Penandatanganan suatu
perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan
dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup
kewenangan
suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun
nondepartemen,
dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa.
 

 

Pasal 8
(1) Pemerintah Republik
Indonesia dapat melakukan
pensyaratandan/atau pernyataan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut.

(2) Pensyaratandan
pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional
harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut.

(3) Pensyaratan dan
Pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik
kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang
ditetapkan dalam perjanjian internasional.

 

 

BAB III

PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 9
(1) Pengesahan perjanjian
internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang
dipersyaratkan
oleh perjanjian internasional tersebut.

(2) Pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
Undang-undang
atau keputusan presiden.

 

Pasal 10
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
Undang-undang apabila berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian,
pertahanan dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c. kedaulatan atau hak berdaulat
negara;

d. hak asasi manusia dan
lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum
baru;

f. pinjaman dan/atau
hibah luar negeri.

 
Pasal 11
(1) Pengesahan perjanjian
internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud
Pasal 10, dilakukan dengan Keputusan Presiden.

(2) Pemerintah Republik Indonesia
menyampaikan salinan setiap Keputusan Presiden yang mengesahkan suatu
perjanjian
internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

 

Pasal 12
(1) Dalam mengesahkan suatu
perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri atas lembaga
negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen menyiapkan
salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang atau rancangan
keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud
serta dokumen-dokumen yang diperlukan.

(2) Lembaga pemrakarsa, yang
terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun
non departemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi
permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersama
dengan pihak-pihak terkait.

(3) Prosedur pengajuan pengesahan
perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada
Presiden.

 

Pasal 13
Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang
pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

 
Pasal 14
Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan
Pemerintah Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk
dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara, atau lembaga
penyimpan pada organisasi internasional.

 

 

BAB IV

PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 15
(1) Selain perjanjian internasional
yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah
Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku
setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik,
atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada
perjanjian tersebut.

(2) Suatu perjanjian internasional
mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Pasal 16
(1) Pemerintah Republik Indonesia
melakukan perubahan atas ketentuan suatu perjanjian internasional berdasarkan
kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut.

(2) Perubahan perjanjian
internasional mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan
dalam perjanjian tersebut.

(3) Perubahan atas suatu
perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia
dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.

(4) Dalam hal perubahan perjanjian
internasional hanya bersifat teknis-administratif, maka pengesahan atas
perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana.

 

 

BAB V

PENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 17
(1) Menteri bertanggung jawab
menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat
oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar naskah resmi dan
menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.

(2) Salinan naskah resmi
setiap perjanjian internasional disampaikan kepada Lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen pemrakarsa.

(3) Menteri memberitahukan
dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang
telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi
internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia menjadi anggota.

(4) Menteri memberitahukan
dan menyampaikan piagam pengesahan perjanjian internasional kepada pihak-pihak
terkait.

(5) Dalam hal Pemerintah
Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam pengesahan perjanjian
internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan piagam pengesahan
perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.

 

 

BAB VI

PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 18
Perjanjian internasional berakhir apabila:

a. terdapat kesepakatan para
pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

b. tujuan perjanjian tersebut
telah tercapai;

c. terdapat perubahan mendasar
yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d. salah satu pihak tidak
melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam perjanjian;

e. dibuat suatu perjanjian
baru yang menggantikan perjanjian lama;

f. munculnya norma-norma
baru dalam hukum internasional;

g. obyek perjanjian hilang;

h. terdapat hal-hal yang
merugikan kepentingan nasional.

 
Pasal 19
Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya,
berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap
pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara
penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut.

Pasal 20
Perjanjian internasional tidak akan berakhir karena
suksesi negara, dan tetap berlaku sepanjang negara pengganti menyatakan
terikat pada perjanjian tersebut.

 

 

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, pembuatan
atau pengesahan perjanjian internasional yang masih dalam proses, diselesaikan
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

 

 

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini melalui Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

                                                           
Disahkan di Jakarta

                                                           
pada tanggal ��������.

 

 

                                                           
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                                           
ABDURRAHMAN WAHID

 

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal ��������

 

 

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

DJOHAN EFFENDI

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN��NOMOR��

 
***********************************************
Check out the now active INDONESIA-POLICY and INDONESIA-DOCS lists
on the Indonesia Publications homepage: http://www.indopubs.com
***********************************************


Perjanjian Hudaibiyyah

Langsung ke: navigasi, cari
Perjanjian Hudaibiyyah (Arab:صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat diantara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H)

Latar belakang

Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada kaum Quraisy. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.
Akhirnya kaum Muslim setuju, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :
هو الذي انزل السكينة في قلوب المؤمينين
yaitu bermakna bahwa Allah telah memberikan ketenangan bagi hati mereka agar iman mereka bisa bertambah.

Perjanjian

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi : "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad (SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Manfaat perjanjian

Manfaat Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah :
  • Bebas dalam menunaikan agama Islam
  • Tidak ada teror dari Quraisy
  • Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam

Hasil

Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh Quraisy, tapi kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M
Kaum Muslim berpasukan sekitar 10000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka'bah



Berkas ini berasal dari Wikimedia Commons dan mungkin digunakan oleh proyek-proyek lain. Deskripsi dari halaman deskripsinya ditunjukkan di bawah ini

Perjanjian Saragosa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Perjanjian Saragosa (juga ditulis Perjanjian Saragossa atau Perjanjian Zaragoza), ditandatangani 22 April 1529, adalah perjanjian antara Spanyol dan Portugal yang menentukan bahwa belahan bumi bagian timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut dengan batas garis bujur yang melalui 297,5 legua atau 17° sebelah timur Kepulauan Maluku. Perjanjian ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Tordesillas yang membagi belahan bumi barat di antara Spanyol dan Portugal dan diprakarsai oleh Paus, yang melihat persaingan perebutan koloni yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol. Oleh karena itu, dibuatlah perjanjian ini. Dalam perjanjian ini dicapai hasil yang lebih rinci dari dua belah pihak, Spanyol dan Portugis. Adapun kesepakatan yang dicapai adalah :
  1. Bumi dibagi atas dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
  2. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Mexico ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazillia ke arah timur sampai kepulauan Maluku.